Hari ini (28/11) Ikatan Alumni Teknik Fisika (IATF) ITB mendapat kehormatan diundang oleh Himpunan Masyarakat Instrumentasi Indonesia (HiMII) untuk mendengarkan pemaparan mengenai HiMII sebagai asosiasi insinyur instrumentasi di Indonesia oleh pendirinya, yakni Profesor Harijono A. Tjokronegoro (guru besar Teknik Fisika ITB) dan Bapak DR Hussein Akil (TF77) Profesor Riset dari LIPI. Rapat bertempat di kantor PT Yokogawa Indonesia di Gedung Oleos Jl TB Simatupang, Jakarta Selatan, dengan pak Sudarto Ramli/TF82 (Director of Technology Yokogawa Indonesia) sebagai tuan rumah.
Foto 1. Foto bersama peserta rapat HiMII
Asosiasi ini sebenarnya sudah ada semenjak tahun 1977 bahkan sudah ada akte notarisnya, namun terdengar asing bagi rekan-rekan alumni Teknik Fisika yang berprofesi sebagai Instrument Engineer di Indonesia. Ini lebih disebabkan karena pengurusnya – mungkin anggota-anggotanya juga waktu itu – kebanyakan adalah peneliti dan dosen. Keanggotaan HiMII belum luas, belum sampai menjangkau praktisi di industri proses, manufaktur, pertambangan, jasa kerekayasaan maupun industri pendukung (vendor/penyedia teknologi). Berbeda dengan asosiasi profesi di negara maju yang justru kelahirannya dan keberlangsungannya dimotori oleh kalangan industri dan penyedia teknologi karena kalangan industri selalu menuntut teknologi dan para ahli teknologi yang bisa membuat teknologi yang lebih aman, lebih murah dan lebih efisien.
Isu-isu mulai muncul, baik disisi perusahaan penyedia teknologi, perusahaan perekayasaan maupun perguruan tinggi di era dimana kompetisi antar negara mulai menyeruak. Contoh terbaru disampaikan oleh pak Sudarto Ramli (TF82) di industri penyedia teknologi/kerekayasaan dimana dalam pengurusan izin untuk usaha konstruksi, perusahaan penyedia teknologi instrumentasi seperti “bertamu ke rumah sendiri”, minta izinnya ke asosiasi profesi lain seperti asosiasi kelistrikan yang notabene mayoritas lulusan dari Teknik Elektro. Lho, lantas alumni Teknik Fisika yang bekerja di bidang instrumentasi menginduk ke asosiasi mana? Tidak ada! Karena memang tidak dikenal asosiasinya.
Kalangan perguruan tinggi pun tidak kalah galaunya. Perguruan tinggi, seperti yang disampaikan Bpk Purwadi AD (dosen Teknik Fisika ITS), yang mempunyai jurusan vokasi seperti di ITS ada vokasi instrumentasi (sudah lepas dari Teknik Fisika) bisa menerbitkan ijazah, tapi standar kompetensinya hanya bisa diterbitkan oleh asosiasi profesi instrumentasi. Kebingungan pun muncul asosiasi profesi yang mana yang bisa menerbitkan sertifikat yang relevan dengan kompetensi instrumentasi? Menjadi lucu dan aneh jika perguruan tinggi mensertifikasi sendiri lulusannya sebagai orang yang kompeten, namun pengguna lulusan perguruan tinggi seperti industri dan penyedia jasa kerekayasaan/teknologi malah menganggap tidak kompeten. Kalangan industri dan penyedia jasa kerekayasaan/teknologi yang paling tahu standar kompetensi seperti apa yang dibutuhkan.
Foto 2. Profesor Harijono A. Tjokronegoro memberikan pemaparan tentang Himpunan Masyarakat Instrumentasi Indonesia (HiMII)
Pak Teten Rustendi (TF84) mewakili industri proses dari PT Badak LNG menyampaikan concern mengenai arah bergeraknya HiMII, apakah menuju ke pembentukan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) atau yang lainnya. Pembentukan LSP sendiri tidak mudah namun bukannya tidak mungkin dilakukan oleh HiMII. Pak Teten sharing mengenai pengalamannya membentuk LSP untuk sekitar 30 jenis profesi yang terkait di sektor Minyak Bumi dan Gas di lingkungan PT Badak LNG, perlu waktu paling tidak satu tahun dan biaya tidak sedikit untuk merampungkan sampai diajukan ke Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP).
Nugroho Wibisono (TF98) dari IATF ITB sekaligus mewakili industri proses (Medco Energi) dalam rapat tersebut menyampaikan pentingnya HiMII mempunyai positioning yang jelas terhadap institusi-institusi yang bertebaran di Indonesia seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII) serta Badan Kejuruan Teknik Fisika (BKTF PII), Program Profesi Insinyur (PPI) oleh perguruan tinggi, Dewan Insinyur Indonesia, Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Para insinyur instrumentasi di Indonesia pasti akan pusing atau kebingungan jika ketidakjelasan positioning ini ditransfer begitu saja kepada mereka. Terutama jika hal ini menyangkut sertifikasi dan registrasi insinyur yang membolehkan insinyur berpraktek di Indonesia, seperti yang diamanatkan Undang Undang Keinsinyuran.
Pak Priatna Ahmad Budiman perwakilan dari Ikatan Alumni Teknik Fisika ITS (IKA TF ITS) sekaligus mewakili perusahaan perekayasaan dan rancang bangun (PT Rekayasa Industri) menyampaikan perlunya HiMII juga merangkul industri lain selain industri proses seperti industri manufaktur (i.e: otomotif), industri pertambangan dan industri lain yang kental diwarnai oleh instrumentasi dan kontrol. Sehingga HiMII menjadi asosiasi profesi instrumentasi yang lebih dikenal luas dan menaungi banyak industri.
Memang diakui oleh Prof Harijono bahwa asosiasi profesi ini selayaknya terdiri dari kalangan industri, perusahaan perekayasaan, perusahaan penyedia teknologi, akademik/peneliti supaya saling melengkapi. Asosasi profesi instrumentasi, yakni HiMII, dapat memainkan peran/positioning sebagai Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) bidang Instrumentasi, seperti diamanatkan UU sehingga kompetensi insinyur instrumentasi dapat diakui sebagai profesi yang berdiri sendiri.
Tugas selanjutnya adalah menata HiMII supaya secara organisasi lebih baik (tidak hanya terdiri dari dua orang saja seperti yang sekarang terjadi) dan meneruskan proses HiMII sebagai LSP untuk insinyur instrumentasi supaya diakui oleh BNSP sehingga keberadaan HiMII dapat memberikan manfaat yang lebih luas bagi masyarakat Indonesia.
Vivat FT! Vivat TF! Vivat ITB!
Foto 3. Kiri-kanan: Ahmad Meiriansyah (TF98), Nugroho Wibisono (TF98) dan Saifurrijal (TF99)
Foto 4. Weby (TF98) berfoto dengan pak Tjipto Kusumo (TF64) dari Badan Kejuruan Teknik Fisika – Persatuan Insinyur Indonesia (PII)