
Karen Agustiawan adalah alumni Teknik Fisika ITB yang menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina periode 2009-2014. Karen mencatatkan diri sebagai direktur utama wanita pertama dalam sejarah Pertamina serta membukukan sukses yang gemilang selama masa kepemimpinannya di Pertamina.
Lulus dari Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung tahun 1983, Karen cukup lama berkarier di Mobil Oil Indonesia (1984-1996). Ia pindah ke CGG Petrosystem selama setahun sebelum pindah lagi ke perusahaan konsultan Landmark Concurrent Solusi Indonesia.
Tahun 2002-2006 ia bergabung dengan Halliburton Indonesia. Di Pertamina, karirnya dimulai saat dirinya ditunjuk sebagai Staf Ahli Direktur Utama untuk Bisnis Hulu Pertamina tahun 2006. Karirnya terus menanjak hingga akhirnya diplot sebagai Direktur Hulu Pertamina.
Di era Menteri BUMN Sofyan Djalil tahun 2009, Karen diangkat menjadi Direktur Utama Pertamina menggantikan Ari Soemarno yang tak lain kakak kandung Rini Soemarno. Karen menjabat sebagai Dirut Pertamina selama kurun waktu enam tahun. Di eranya, Pertamina memang banyak melakukan akuisisi blok-blok migas di luar negeri seperti Irak dan Aljazair.
Diberitakan Harian Kompas, 8 Februari 2019, dua tahun sebelumnya ketika baru masuk ke Pertamina sebagai staf ahli, perannya saat itu, kata dia, “hanya” sebatas konsultan.
“(Sewaktu menjadi staf ahli, saya) mengusulkan konsep, tetapi implementornya bukan saya. Sekarang (ketika menjadi Direktur Hulu Pertamina), saya harus memastikan semuanya berjalan. Itu berat, tidak sebatas plan the work, tetapi work the plan. Waktu saya masuk sebagai Direktur Hulu, yang saya benahi adalah bagaimana work the plan,” terangnya.
Bagi Karen, Pertamina adalah tantangan, dan ia menyukai tantangan. Tantangan memicu ide di otak keluar, dan itu membuatnya hidup.
“Dulu, menjadi Direktur Hulu banyak tantangan. Tetapi kalau saya melihat posisi itu sekarang, sudah tidak menantang. Saya sekarang memimpin tujuh anak perusahaan, itu berat, tetapi menantang,” ucap Karen.
Tantangan lain, menurut Karen, soal maskulinitas. “Tahu sendiri, kan, bisnis minyak itu maskulinitasnya kuat. Saat saya masuk, banyak yang mempertanyakan, bisa apa cewek ini. Jawabannya? Banyak yang mengakui, she did bring something,” ucapnya. Karen mencermati adanya perubahan cara berpikir di sektor hulu.
Dulu orang masuk Pertamina lebih untuk keamanan kerja, masuk Pertamina untuk menghidupi keluarga. “Sekarang harus diubah menjadi I’m proud to be Pertamina family. Kayak dulu di ITB zaman Posma, kan ada spanduk selamat datang putra-putri terbaik Indonesia. Saya pengin begitu di Pertamina, selamat datang sarjana terbaik di Pertamina,” kata dia.
Dalam era kepemimpinannya visi Pertamina saat ini menjadi perusahaan energi kelas dunia dan champion Asia pada 2025 dengan aspirasi energizing Asia. Pada tahun 2011, Forbes memasukkan Karen sebagai yang pertama di dalam daftar Asia’s 50 Power Businesswomen. Ditengah gemilangya prestasi beliau di Pertamina, Karen mengundurkan resmi berhenti dari jabatannya sebagai CEO PT Pertamina tertanggal 1 Oktober 2014.
Karen sempat tersandung kasus hukum yang membuat heboh nasional dan jagat industri minyak dan gas di Inonesia. Kejaksaan Agung (Kejagung) menduga ada penyimpangan dalam pengambilan keputusan investasi Blok BMG oleh Pertamina. Kejagung menduga investasi 10 persen saham pada Blok BMG tidak sesuai dengan pedoman, tanpa studi kelayakan yang lengkap dan tidak didasari persetujuan Dewan Komisaris Petamina. Untuk itu Mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan telah dijadikan tersangka pada Maret 2018.
Indonesian Resources Studies (IRESS) menyatakan bahwa mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Karen G. Agustiawan, telah dikriminalisasi dan menjadi korban kezoliman dalam kasus investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia 2009. Dalam kasus pidana tersebut, diduga ada motif tertentu yang menjadi latar belakang sehingga terkesan kasus tersebut dipaksakan.
“IRESS menganggap kriminalisasi risiko korporasi dalam Akuisisi Blok BMG Australia 2009 adalah langkah mundur penegakan hukum Indonesia. Tidak sepatutnya Karen yang telah menunjukkan prestasi tinggi dan berjasa menjadikan Pertamina sebagai perusahaan yang sangat menguntungkan negara selama periode kepemimpinannya, justru harus dihukum dalam proses peradilan sesat. Jangan-jangan ada motif busuk dan penggunaan wewenang ala preman di balik peradilan sesat ini,” ujar Direktur Eksekutif IRES, Marwan Batubara, Kamis (9/5).
Atas keputusan investasi di Blok BMG, Karen dituduh telah merugikan negara sekitar Rp 586 miliar. Padahal berdasarkan hasil audit oleh BPK, Pertamina justru tidak mengalami kerugian atau tidak ada kerugian negara pada investasi tersebut. Kejagung memperoleh angka kerugian negara berdasarkan perhitungan oleh sebuah kantor akuntan publik (KAP).
Padahal, menurut Marwan, selama menjabat sebagai Dirut Pertamina, Karen justru telah menunjukkan kinerja yang sangat baik. Hal ini terlihat dari berbagai prestasi yang diraih oleh Pertamina selama masa jabatannya yaitu perolehan laba US$ 13,2 miliar (tahun 2013) dan raihan sebagai perusahaan peringkat ke-122 Fortune Global-500 (2013). Pertamina adalah satu-satunya perusahaan Indonesia yang pernah masuk dalam peringkat ke-122 Global-500 hingga saat ini.
IRESS juga mengapresiasi sikap Karen yang sangat menguntungkan Pertamina dan NKRI saat berlangsungnya proses perpanjangan Blok Mahakam antara 2012-2015. Karen telah bersikap sangat tegar/firm bahwa Blok Mahakam harus dikelola oleh BUMN/Pertamina, agar manfaat maksimum dapat diperoleh oleh negara.
“Saat itu, Karen berani berbeda sikap dengan Menteri ESDM Jero Wacik yang lebih memihak kepada Total dan Inpex untuk melanjutkan pengelolaan Blok Mahakam. Sikap Karen tersebut akhirnya disetujui Menteri ESDM Sudirman Said pada Maret 2015, yang memastikan bahwa pengelolaan Blok Mahakam diserahkan kepada Pertamina,” tegasnya.
Dengan berbagai prestasi yang disebutkan di atas di satu sisi, dan fakta-fakta yang terungkap selama proses persidangan di sisi lain, maka menjadi tanda tanya mengapa Karen dijadikan sebagai tersangka dalam kasus investasi Blok BMG tersebut. Dikhawatirkan, jangan-jangan ada motif tertentu yang menjadi latar belakang, sehingga terkesan bahwa kasus tersebut dipaksakan.
IRESS menganggap kriminalisasi risiko korporasi dalam Akuisisi Blok BMG Australia 2009 adalah langkah mundur penegakan hukum Indonesia. Tampaknya peradilan sesat telah terjadi pada kasus Blok BMG ini. Tidak sepatutnya Karen yang telah menunjukkan prestasi tinggi dan berjasa pula menjadikan Pertamina sebagai perusahaan yang sangat menguntungkan negara selama periode kepemimpinannya, justru harus dihukum dalam proses peradilan sesat.
Namun patut disyukuri, atas usaha yang tak kenal lelah, Karen akhirnya diputus bebas oleh Mahkamah Agung setelah mendekam 1,5 tahun di rumah tahanan.
Mahkamah Agung (MA) menjelaskan putusan mengabulkan permohonan kasasi mantan Direktur Utama PT Pertamina 2009-2014 Karen Galaila Agustiawan terkait tindak pidana korupsi dalam proses investasi di Australia.
Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah, di Jakarta, menyatakan bahwa Karen diputus lepas. “Bukan bebas,” ujar Abdullah seperti dikutip Antara.
Dalam perkara bernomor 121K/2020 tersebut, MA menolak kasasi penuntut umum, mengabulkan kasasi terdakwa, serta membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yang dikuatkan pengadilan tingkat banding.
“MA mengadili sendiri dan menyatakan bahwa putusannya adalah lepas onslag van recht vervolging, artinya lepas dari segala tuntuan hukum,” terang Abdullah, di Kantor MA, Jakarta, kemarin.
Dijelaskan Abdullah, terkait kasus investasi di Blok Basker Manta Gummy (BMG) Australia pada 2009 yang diduga merugikan negara Rp568 miliar itu, Karen terlibat sebagai dirut yang mengambil keputusan. Akan tetapi, hal itu bukan tindakan pidana.
“Bisa saja dalam bentuk administrasi, perdata, tapi yang jelas itu bukan tindak pidana sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,” ujar Abdullah. Abdullah menerangkan Karen selaku Dirut Pertamina mengambil kebijakan tersebut berdasarkan hasil keputusan rapat direksi.
Dalam hal ini, PT Pertamina dan PT Pertamina Hulu Energi berupaya menambah cadangan migas melalui pembelian saham terhadap Blok BMG. “Nah namanya tambang kan juga belum tentu untung, tiap perusahaan tidak selalu untung. Itu faktanya. Perbuatannya ini bukan pidana.”
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan vonis 8 tahun penjara dan denda Rp1 miliar kepada Karen, pada 10 Juni 2019. Karen dianggap menyalahgunakan wewenang dalam kasus investasi di BMG hingga merugikan negara.
Kepada wartawan, Karen mengaku sempat kecewa pada putusan Pengadilan Tipikor yang dinilainya keliru. “BMG aksi koorporasi yang tekennya adalah business judgement, domainnya adalah hukum perdata, tapi dipaksakan menjadi domain hukum pidana, tindak pidana korupsi,” ujar Karen setelah keluar dari Rumah Tahanan Salemba cabang Kejagung, Jakarta, tadi malam.
Karen Agustiawan menghirup udara bebas pada hari Selasa (10/3/2020) malam. Berdasarkan pantauan Kompas.com, Karen keluar dari Rutan Kejagung, Jakarta Selatan, pukul 19.10 WIB. Ia terlihat didampingi suami, keluarga, serta kuasa hukumnya, Soesilo Aribowo. Sekeluarnya dari penjara, Karen mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT, keluarganya, hingga para karyawan Pertamina.

“Pertama saya ingin mengucapkan sujud syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan kebahagaiaan yang luar biasa pada hari ini,” kata Karen. Ia sekaligus mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di rutan, tempat mendekam selama 1,5 tahun.
Suara Karen pun terdengar seperti menahan tangis di sela-sela ia memberikan keterangan kepada awak media. Selepas dari penjara, Karen mengaku ingin menghabiskan waktu bersama keluarganya. “Kelonan sama suami, boleh kan. Kangen sekali sama bapak,” ucap Karen.
Diolah dari berbagai sumber (Kompas, Petrominer, CNN Indonesia)